Sabtu, 27 November 2010

MAKALAH IPTEK DI BIDANG KEDOKTERAN

PERKEMBANGAN
ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI
DALAM BIDANG KEDOKTERAN

DISUSUN OLEH  :
CITA LESTARI
41210605

JURUSAN D3 AKUNTANSI KOMPUTER
1DA03
UNIVERSITAS GUNADARMA
2010/2011


KATA PENGANTAR



Puji syukur atas kehadiran Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “Perkembangan IPTEK Dalam Bidang Kedokteran”, yang mana makalah ini disususn bertujuan untuk memenuhi tugas dan memberikan informasi serta pengetahuan tambahan bagi para pembaca.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan keterbtasan dalam penyajian data dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini berguna dan dapat menambah pengetahuan pembaca.

Demikian makalah ini penulis susun, apabila ada kata- kata yang kurang berkenan dan banyak terdapat kekurangan, penulis mohon maaf yang sebesar - besarnya.




                                                                 Bekasi, 27 November 2010



Penulis


BAB I
PENDAHULUAN

A.   LATAR BELAKANG MASALAH
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) di satu sisi memang berdampak positif, yakni dapat memperbaiki kualitas hidup manusia. Berbagai sarana modern industri, komunikasi, dan transportasi, misalnya, terbukti amat bermanfaat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat pesat di era globalisasi saat ini. Salah satunya di bidang kedokteran. Banyak sesuatu yang telah diberikan atau disumbangkan dengan adanya ilmu kedokteran kepada masyarakat. Perkembangan itu didukung dengan banyaknya para ahli yang melakukan penelitian dan menelaah tentang sesuatu hal yang masih harus diteliti.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, termasuk dalam bidang pengobatan  dan kedokteran merupakan hasil karya dan karya manusia yang dihasilkan dengan akalnya. Kemajuan pesat dalam bidang molekuler telah melahirkan beberapa alternatif baru dalam usaha pengobatan  dan memberikan harapan baru bagi para penderita, bahkan untuk beberapa penyakit yang di masa lampau mustahil untuk diobati, misalnya penyakit keturunan. Rekayasa genetika dan terapi gen merupakan kemajuan teknologi yang cukup dapat memberikan harapan  di bidang pengobatan.
Penelitian para ahli tersebut ada yang menimbulkan kontroversi tetapi ada juga yang tidak. Penelitian tersebut menimbulkan kontroversi karena adanya penyimpangan yang dilakukan berdasarkan pada pandangan agama maupun etika. ilmu pengetahuan adalah suatu institusi kebudayaan, suatu kegiatan manusia untuk mengetahui tentang diri sendiri dan alam sekitarnya dengan tujuan untuk mengenal manusia sendiri, perubahan-perubahan yang dialami dan cara mencegahnya, mendorong atau mengarahkannya, serta mengenal lingkungan yang dekat dan jauh darinya, perubahan-perubahan lingkungan dan variasinya, untuk memanfaatkan menghindari dan mengendalikannya. Bagian pengenalan merupakan dasar yang diperlukan oleh bagian tindakan, sehingga terdiferensiasilah ilmu dasar dan ilmu terapan. Ilmu terapan lebih dapat dilihat hasilnya dan dapat dirasakan oleh siapapun juga, entah itu bermanfaat atau tidak, menguntungkan atau justru merugikan (berdampak negatif). Maka dalam permasalahan ini muncul perbedaan pendapat mengenai kenetralan dan keobjektifan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu diperlukan adanya hukum, adat, agama, dan etika untuk mengendalikan ilmu pengetahuan dan teknologi.


B.   RUMUSAN MASALAH
Dalam makalah ini akan di jelaskan mengenai apa itu REKAYASA GENETIKA, TERAPI GEN dan KLONASI. Serta apa manfaatnya bagi manusia dalam bidang kesehatan, dan bagaimana kronologi dari penemuan tersebut serta kontroversi yang timbul akibat penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.


C.    TUJUAN
1)      Makalah ini bertujuan menjelaskan mengenai penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran.
2)      Memenuhi tugas guna memenuhi nilai dalam proses belajar – mengajar dengan mata kuliah Softskill Ilmu Alamiah Dasar.




BAB II
PEMBAHASAN


1.           REKAYASA GENETIKA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003)  rekayasa genetika dapat diartikan sebagai ilmu dari cabang biologi yang berhubungan dengan prinsip keturunan dan variasi pada binatang dan tumbuhan jenis yang sama. Namun demikian dewasa ini rekayasa genetika tidak hanya berlaku pada hewan dan tumbuhan yang sejenis tetapi telah berkembang pada manusia dan lintas jenis. Dalam rekayasa genetika dapat diperoleh suatu sifat yang menguntungkan dari sutu organisme yang dapat diatransfer pada organisme lain. Sebagaimana telah diketahui bahwa gen merupakan pembawa sifat pada organisme, maka pemindahan suatu sifat dapat dilakukan dengan merekayasa gen-gen tertentu pada mahkluk hidup tertentu. Tehnik ini telah banyak dilakukan dan berhasil terutama di bidang pertanian. Contohnya diperolehnya kapas transgenik yang tahan hama, diperolehnya padi dengan kualitas unggul dan sebagainya.
Penemuan baru di bidang rekayasa genetika dan sangat berguna di bidang kesehatan adalah, keberhasilan produksi insulin manusia dengan tehnik rekayasa genetika pada bakteri E. coli. Sebagaimana diketahui bahwa jumlah penderita Diabetes Melitus (DM)  semakin hari semakin bertambah. Indonesia menempati urutan keenam di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita DM terbanyak setelah India, China, Uni Sovyet, Jepang, dan Brazil. Tercatat pada tahun 1995, jumlah penderita DM di Indonesia mencapai 5 juta dengan peningkatan sebanyak 230.000 pasien DM per tahunnya, sehingga pada tahun 2005 diperkirakan akan mencapai 12 juta penderita (Octa, 2006).
Diabetes Melitus  merupakan penyakit dimana tubuh penderita tidak bisa secara otomatis mengendalikan tingkat gula (glukosa) dalam darahnya. Penderita diabetes tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah yang cukup, sehingga terjadi kelebihan gula di dalam tubuh. Kelebihan gula yang kronis di dalam darah (hiperglikemia) ini menjadi racun bagi tubuh (Octa, 2006).
Diabetes Melitus dapat dibedakan dalam dua tipe yaitu :
a.      Diabetes Tipe I (IDDM/ Insulin Dependent Diabetes Mellitus /tergantung insulin)
Yaitu kondisi defisiensi produksi insulin oleh pankreas. Hal ini disebabkan karena sel-sel beta dari pulau-pulau langerhans telah mengalami kerusakan, sehingga pankreas berhenti memproduksi insulin. Kerusakan sel beta tersebut dapat terjadi sejak kecil ataupun setelah dewasa. Kondisi ini hanya bisa diobati dengan pemberian insulin, sehingga tubuh perlu pasokan insulin dari luar.
b.      Diabetes Tipe II (NIDDM/ Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus/ tidak tergantung insulin)
Diabetes melitus ini terjadi akibat ketidakmampuan tubuh untuk berespons dengan wajar terhadap aktivitas insulin yang dihasilkan pankreas (resistensi insulin), sehingga tidak tercapai kadar glukosa yang normal dalam darah. Biasanya orang yang terkena penyakit diabetes tipe ini adalah orang dewasa .
Secara normal insulin dihasilkan oleh pankreas.  Dalam keadaan sehat pankreas secara spontan akan memproduksi insulin saat gula darah tinggi. Prosesnya sebagai berikut : jika  gula darah rendah glukagon akan dibebaskan oleh sel alfa pankreas, kemudian hati akan melepaskan  gula ke darah yang mengakibatkan kadar gula darah normal. Sebaliknya jika gula dalam darah tinggi, insulin akan dibebaskan oleh sel beta pankreas, kemudian sel-sel lemak akan mengikat gula  darah, yang  mengakibatkan kadar gula darah normal. Menurut Witarto, (2005) Insulin adalah hormon dari jenis protein yang tersusun dari 51 asam amino. Struktur insulin manusia terdiri dari dua rantai polipeptida yang dihubungkan oleh ikatan disulfida, yaitu polipeptida alfa dan beta. Polipeptida alfa mengandung 21 asam amino sedang polipeptida beta mengandung 30 asam amino.  Apabila urutan asam amino suatu polipeptida diketahui maka dengan menggunakan kode geneti­ka dapat pula diketahui urutan nukleotida gena(DNA) yang mengkodenya. Mengingat bahwa protein insulin cukup pendek maka gen yang mengkode  insulin dapat  disintesis  secara kimiawi. Insulin berfungsi untuk mengontrol kadar gula dalam darah. Bila kadar gula dalam darah tinggi maka insulin akan membantu mengubah gula darah  menjadi glikogen yang biasanya akan disimpan di otot sehingga kadar gula dalam darah normal.
Sebelum era rekayasa genetika, insulin yang diperlukan untuk mengobati penderita  DM diperoleh dari hewan. Insulin yang dihasilkan oleh pankreas sapi atau babi digunakan untuk pengobatan DM pada manusia. Namun cara ini mempunyai kelemahan, yaitu terbatasnya insulin yang dapat diproduksi oleh pankreas, yang tidak sebanding dengan jumlah penderita DM yang membutuhkan insulin. Selain itu memungkinkan adanya efek samping karena insulin yang dihasilkan tidak sama persis dengan insulin manusia.  Meskipun diketahui insulin yang dihasilkan oleh babi paling mirip dengan insulin manusia, namun perlu diingat bahwa dalam islam babi merupakan binatang yang haram. Penemuan teknik rekayasa genetika  pada E. coli untuk menghasilkan insulin, jauh lebih menguntungkan karena yang dihasilkan adalah insulin manusia sehingga tidak memberikan efek sampingan seperti halnya insulin hewan serta dapat dihasilkan banyak insulin dalam waktu yang relatif pendek. Hal ini dikarenakan waktu generasi E. coli yang cukup pendek, yaitu hanya 20 menit, sehingga setiap 20 menit, satu sel E. coli membelah menjadi 2 sel.
E. coli merupakan anggota bakteri. Selama ini bila kita mendengar kata bakteri, maka yang terbayang di benak kita adalah sesuatu yang merugikan saja, misalnya penyebab suatu penyakit. Padahal sebenarnya E. coli tidaklah demikian, bakteri ini dikenal sebagai mikrobia normal tubuh manusia. E. coli tidak bersifat pathogen selama berada dalam usus dan bahkan menurut Sujono (1998) bakteri ini bersimbiosis mutualisme dengan manusia. E. coli membantu membentuk vitamin-vitamin (terutama vitamin K) dan dapat menghambat terbentuknya gas H2S, sedangkan E. coli juga mendapatkan makanan dari sisa-sisa metabolisme manusia. Menurut Sebiring L, dkk (1999) langkah-langkah dalam rekayasa genetika untuk memproduksi insulin adalah sebagai berikut :
1. Masing-masing gen polipeptida alfa dan beta disintesis  secara kimiawi.
2. Gen tersebut disisipkan pada plasmid E. coli yang direkayasa supaya memiliki operon laktosa, yaitu promoter, operator, dan gen struktural 2 yang mengkode ß-galaktosidase. Di samping itu, plasmid ini juga mengandung gen yang mengkode resistensi terhadap amfisilin yang berguna sebagai marker untuk menyeleksi sel yang mengandung plasmid. 
3. Masing-masing gena alfa dan beta disisipkan ke dalam plasmid yang terpisah, yaitu pada bagian kanan gen z.
4. Plasmid tersebut lalu dimasukkan ke dalam sel E. coli untuk diekspresikan.
5.  Ekspresi operon laktosa akan menyebabkan terbentuknya protein galaktosidase dan protein insulin yang saling berikatan hingga membentuk protein gabungan.  
6. Selanjutnya protein gabungan ini dimurnikan lalu dipotong sehingga protein insulin terpisah dengan protein ß-galaktosidase.
7. Dengan cara ini akan diperoleh polipeptida alfa maupun polipeptida beta insulin.
8. Akhirnya polipeptida alfa diikatkan dengan polipeptida beta secara oksidasi. sehingga diperoleh insulin yang utuh dan siap untuk digunakan.





2.           TERAPI GEN
Jika rekayasa genetika sudah banyak diterapkan dan berhasil, maka terapi gen baru boleh dilakukan dalam skala penelitian dan para pakar memperkirakan masih sekitar tujuh sampai lima belas tahun lagi terapi gen baru dapat terealisasi. Namun demikian terapi gen cukup menjanjikan harapan bagi para penderita penyakit, terutama penyakit keturunan.
Terapi gen adalah teknik memperbaiki gen yang rusak atau cacat yang bertanggungjawab atas timbulnya penyakit tertentu. Edrus menyatakan bahwa terapi gen merupakan teknologi masa kini yang membolehkan gen-gen yang rusak diganti dengan gen-gen normal dimana kita menggunakan vektor untuk menyisipkan DNA yang diingini ke dalam sel dan disuntikkan ke dalam tubuh. Terapi gen dapat dilakukan secar ex vivo dan in vivo. Terapi ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990. Selama ini pendekatan terapi gen yang berkembang adalah menambahkan gen-gen normal ke dalam sel yang mengalami ketidaknormalan. Pendekatan lain adalah melenyapkan gen abnormal dengan melakukan rekombinasi homolog. Pendekatan ketiga adalah mereparasi gen abnormal dengan cara mutasi balik selektif, sedemikian rupa sehingga akan mengembalikan fungsi gen tersebut. Selain pendekatan-pendekatan tersebut, ada pendekatan lain untuk terapi gen yaitu mengendalikan regulasi ekspresi gen abnormal tersebut (Holmes, 2003). Perkembangan terapi gen yang terkini untuk pengobatan penyakit lebih diarahkan pada gagasan mencegah diekspresikannya gen-gen yang jeiek atau abnormal (gene silencing). Untuk tujuan gene silencing atau membungkam ekspresi gen tersebut, maka penggunaan RNA (RNA therapeutic) lebih dimungkinkan dari pada penggunaan DNA. Telah dilaporkan dalam majalah Nature bulan Mei 2001 bahwa RNA dapat membungkam ekspresi gen dengan efektif. Gagasan terapi gen dengan mereparasi mRNA, berarti menggunakan mekanisme regulasi sel itu sendiri, sehingga efek samping yang merugikan lebih dapat ditekan. Cara ini lebih baik dilakukan dari pada mengganti gen yang cacat.
Sampai saat ini vektor yang paling umum dipakai adalah virus. Pada keadaan pathogen, yang terjadi adalah virus mampu menyisipkan gennya ke dalam sel manusia. Oleh para pakar kemampuan ini digunakan untuk penyembuhan dengan jalan memanipulasi genom virus, yaitu menghilangkan gen virus penyebab penyakit dan menyisipkan gen penyembuh yang diinginkan ke dalam genom virus tersebut. Vektor yang telah berisi gen penyembuh virus tadi diinjeksikan ke dalam sel target pasien (misalnya sel liver atau sel paru-paru). Kemudian virus akan memindahkan materi genetik yang berisi gen penyembuh ke dalam sel target. Dengan demikian, protein hasil produksi gen penyembuh tadi akan berfungsi normal dan mengembalikan sel target dalam keadaan normal. Beberapa contoh terapi gen untuk mengobati penyakit adalah sebagai berikut :
a.             Penghasilan Enzim ADA
Contoh terbaik adalah penghasilan enzim Adenosina Deaminase (ADA) pada bayi. Ashanthi De Silva ialah kanak-kanak pertama yang dirawat dengan terapi gen. Dia mengidap penyakit kedefisienan Adenosina Deaminase (ADA) yang disebabkan mutasi tubuhnya tidak mampu membina enzim ADA, enzim ini diperlukan untuk perkembangan sel T (mempertahankan sistem keimumnan), gen ADA terletak pada kromosom X. biasanya pengidap penyakit ini diberi suntikan enzim ADA atau pemindahan sumsum tulang, namun sistem ini memiliki  kelemahan, yaitu suntikan enzim ADA tidak dapat memulihkan sistem keimunan penderita sedang pemindahan sumsum tulang perlu pendonor yang cocok. Teknologi DNA rekombinan memberi nafas baru untuk mengobati penyakit ini.
Ashanti yang berumur 4 tahun pada tahun 1990 menerima terapi gen. Salinan-salinan gen terklon untuk enzim ADA disisipkan ke dalam retro virus lemah (sebagai vektor). Retro virus ini dicampurkan dengan sel T Ashanthi, retrovirus kemudian menjangkiti sel T dan menyisipkan gen ADA ke dalam DNA sel T. setelah dilakukan penyaringan, sel T rekombinan tersebut diklonkan, sebagian sel T rekombinan tersebut disuntikkan ke Ashanti dan sebagian lagi disimpan dalam penyimpan gen (sebagai simpanan). Ashanti disuntik berulangkali, dan ternyata  setelah 5 tahun didapati sel T Ashanthi  menunjukkan kehadiran gen ADA, diprediksikan satu milyar sel telah diberikan pada Ashanthi.
b.             Pengobatan Hemofili
Penderita hemofilia adalah manusia yang factor VIII dalam darahnya jumlahnya sedikit. Jika orang normal memiliki jumlah factor VIII dalam darahnya sebanyak 100 unit, maka penderita hemofili ringan hanya memiliki sekitar 30 unit saja (6-30 persen), sedangkan penderita hemofili  berat hanya memiliki factor VIII dalam darahnya kurang dari 5 unit atau 1 persen saja. Akibatnya penderita tidak memiliki kemampuan dalam pemkuan darah. Terapi gen merupakan salah satu cara penyembuhan penyakit hemofili dengan memperbaiki kerusakan genetis, yaitu melalui penggantian gen yang tidak rusak dan berfungsi normal. Penyembuhan melalui terapi gen ini tidak dapat secara permanen dan masih harus dilakukan secara berkala.
Menurut Moeslichan (2005), hingga saat ini terapi gen belum diterapkan pada penderita hemofili Indonesia. Ditambahkannya bahwa di luar negeri studi terapi gen terus dikembangkan. Bahkan percobaan kepada binatangpun telah dilakukan. Sebuah kasus terapi gen yang dilakukan pada seekor anjing yang mengidap hemofilia dapat sembuh dalam waktu 30 hari. Namun, serangan hemofilia kembali terjadi setelah itu. Pada manusia penderita hemofili, masa penyembuhan setelah terapi gen, memakan waktu dari satu hingga dua tahun.
Prinsip-prinsip terapi gen adalah gen yang akan dipindahkan itu harus diletakkan ke dalam sel yang akan berfungsi normal dan efektif. Untuk hemofilia gen harus diletakkan ke dalam sel yang akan menghantarkan protein faktor VIII atau faktor IX ke dalam peredaran darah. Saat ditransfer, gen tersebut harus berfungsi dalam sel dalam jangka waktu yang lama, demikian pula sel baru yang disebut transduced cell, harus pula bertahan lama. Program terapi gen terbagi dalam dua jenis. Pertama, pemindahan gen dilakukan di dalam tubuh pasien (in vivo transfer). Kedua, pemindahan gen dilakukan di luar tubuh pasien (ex vivo transfer). Terapi gen in vivo transfer bersandarkan pada kemampuan sel-sel untuk menyerap DNA. Peneliti berharap dapat memetakan gen yang berfungsi normal sehingga memungkinkan sel-sel menerimanya sesegera mungkin, misalnya melalui penyuntikan. Sedangkan ex vivo transfer, gen yang berfungsi normal disisipkan ke dalam sel di dalam laboratorium. Kemudian sel yang telah ditransferkan ke gen baru tadi di letakkan ke dalam tubuh pasien. Sel penderita dapat digunakan untuk pemindahan gen ini. Tentu kedua cara ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan in vivo transfer adalah sangat sedikit membutuhkan manipulasi laboratorium dan dapat digunakan dalam skala besar. Sedangkan ex vivo lebih sarat dengan operasi pembedahan, seperti bagaimana mengangkat dan meletakkan kembali sel, karena meletakkan gen baru ke tubuh pasien tidaklah segampang menelan pil atau semudah menyuntikkannya ke dalam darah.
Risiko terapi gen adalah kemungkinan terjadinya viral vector yang akan beraksi layaknya virus dan akan menyebabkan infeksi. Namun demikian sejauh ini viral vector yang telah dilakukan investigasi tidak menyebabkan penyakit pada manusia. Penyembuhan penyakit hemofilia melalui terapi gen saat ini masih terus dilakukan. Percobaan terhadap anjing telah berhasil, demikian juga dengan manusia, percobaan terhadap dua penderita hemofilia pun telah dilakukan.
c.       Pengobatan Thallasemia
Thallasemia merupakan suatu penyakit darah bawaan yang menyebabkan sel darah merah pecah (hemolisis), sel darah merah penderita mengandung sedikit hemoglobin dan sel darah putihnya meningkat jumlahnya (Supriyadi, dkk, 1992). Thallasemia merupakan penyakit keturunan yang paling banyak dijumpai di Indonesia dan Italia. 6 sampai 10% dari 100 orang Indonesia membawa gen penyakit ini. Jika dua orang yang sama-sama membawa gen ini menikah maka satu dari empat anak mereka akan menderita thallasemia berat.
Kelainan gen ini akan mengakibatkan kekurangan salah satu unsur pembentuk hemoglobin (Hb), sehingga produksi Hb berkurang. Terdapat tiga jenis thallasemia yaitu : mayor, intermediate dan karier. Pada thallasemia mayor, Hb sama sekali tidak diproduksi. Akibatnya penderita akan mengalami anemia berat. Dalam hal ini jika penderita tidak diobati, maka bentuk tulang wajahnya akan berubah dan wama kulitnya menjadi hitam. Selama hidupnya penderta akan tergantung pada transfusi darah. Hal ini dapat berakibat fatal, karena efek samping dari transfuse darah yang terus menerus akan mengakibatkan kelebihan zat besi.
Terapi gen merupakan harapan baru bagi penderita thallasemia di masa mendatang. Terapi dilakukan dengan menggantikan sel tunas yang rusak pada sumsum tulang penderita dengan sel tunas dari donor yang sehat. Hal ini sudah diujicobakan pada mencit.


3.           KLONASI
            Jauh sebelum tahun 1940 ilmuwan telah berhasil membuat inseminasi buatan. Tahun 1951 dilaporkan adanya keberhasilan para ahli mentransfer embrio dari satu sapi ke sapi yang lain. Tahun 1952 terjadi kemajuan dengan keberhasilan menggunakan sperma beku pada sapi. Setahun kemudian hal ini dipraktekkan dalam percobaan bayi tabung (in vitro fertilization atau IVF). Tahun 1984 lahirlah bayi perempuan dari embrio manusia yang dibekukan.
Berita paling menggemparkan jauh setelah berbagai keberhasilan para ahli, adalah ketika Dr Ian Wilmut dan rekannya dari Institute Roslin di Ediburgh, Inggris, berusaha mengklonasi domba dari sel epitel kambing seekor domba lainnya. Domba yang diambil dari jenis Finn Dorset berumur enam tahun yang sedang hamil. Kemudian sel ambing itu dikultur dalam cawan petri dengan sumber makanan yang terbatas. Karena kelaparan, sel itu berhenti berkembang atau mematikan aktivitas gennya. Kemudian Wimut mengambil jenis Blackface. Inti sel telur yang bisa membelah menjadi domba dewasa setelah dibuahi itu kemudian diambil, sekarang sel telur itu kosong, hanya berisi organela dan plasma sel saja. Lalu dua sel itu didekatkan dan dengan aliran listrik yang dikejutkan karenanya, maka dua sel itu bergabung menjadi satu seperti gelembung sabun. Ini seperti terjadinya pembuahan sel telur oleh sperma. Maka terjadilah sel embrio. Kurang lebih enam hari kemudian sel embrio bohongan itu disuntikkan ke dalam rahim seekor domba betina Blackface lainnya, kemudian domba tersebut mengandung. Terciptalah Dolly sebagai keberhasilan Wimut dalam merekayasa gen. Ini salah satu saja dari sekian ilmuwan yang telah berhasil dalam menggandakan makhluk hidup dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologinya.
Keberhasilan yang menggemparkan ini menjadi buah bibir dunia. Keberhasilan ilmu pengetahuan dan teknologi mengarak manusia pada kondisi dan situasi yang serba dilematis. Bagaimana tidak ? Penggandaan makhluk hidup yang dibuat manusia merupakan wewenang Tuhan, dan kini akan benar-benar ditiru manusia. Apakah dengan demikian manusia sudah melewati batas-batas yang transendental? Keberhasilan klonasi --dalam arti duplikasi hewan-- juga sebenarnya telah diterapkan pada tumbuhan, bahkan mungkin keberhasilannya mendahului keberhasilan menduplikasi hewan, hanya saja pamornya tidak sehebat pada hewan. Seperti buah semangka tanpa biji, maupun tumbuhan yang berkembang biak dengan stek merupakan hasil klonasi dalam arti yang sesungguhnya. Hasil dari klonasi (klonus) ini tidak akan membuahkan keturunan pada hewan dan tumbuhan tertentu. Jadi di samping keberhasilan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu menambah populasi dan referensi, tetapi implisit hasil klonasi tidak akan dapat memperbanyak keturunan.
Keberhasilan mengklonasi hewan dan tumbuhan menjadi tambahan referensi, kiranya tidak demikian ketika terjadi diskursus para ilmuwan untuk mengklonasi manusia. Dengan imajinasi yang agak liar ternyata para ahli tidak puas dengan keberhasilannya dengan mengklonasi hewan dan tumbuhan. Secara sederhana klonasi adalah usaha penciptaan individu baru dengan memanfaatkan perkembangan ilmu Biologi, proses dari dua individu yang memiliki informasi genetik yang sama. Sudah lama manusia bermimpi untuk melestarikan dirinya. Manusia adalah makhluk Tuhan yang dapat menyadari bahwa suatu saat ia akan mati, oleh karena itu ia takut mati. Mati disadarinya sebagai bagian dari kenyataan dunia yang tidak dapat dihindari, sehingga muncullah pikiran manusia untuk membuat keturunan yang mirip dengannya baik secara fisik maupun mental. Di samping itu manusia juga tidak mau kehilangan anak yang merupakan bagian dari hidupnya, sehingga manusia menginginkan duplikasi anak yang mirip dengan anaknya yang telah mati, atau yang disadari bahwa nantinya akan mati juga. Keinginan-keinginan yang lain juga mendasari keinginan menduplikasi dirinya. Ini juga semata-mata karena protes atas ketidakpuasannya terhadap perkembangan Iptek yang selalu melahirkan manusia yang jahat atau buruk. Duplikasi manusia yang tidak diikuti dengan proses seksual merupakan bukti perkembangan pola pikir manusia yang akhirnya menjadi bahan polemik di mana-mana.
Dari kaca mata etika, klonasi perlu dipertanyakan kembali apakah itu tidak melanggar agama, karena secara tidak langsung tersirat bahwa klonus telah diakhiri hidupnya. Di samping itu klonasi yang prosesnya asexual dan nonkoital itu, mengakibatkan kesucian reproduksi memudar, reproduksi menjadi teknis rasional dan ekonomis. Keorangtuaan juga menjadi hilang nilainya, lebihlebih kalau klonus lahir setelah orang tuanya meninggal, padahal kekeluargaan dianggap sebagai sentral masyarakat. Pertimbangan berikutnya adalah melenyapnya keunikan manusia, karena variabilitas genetis berkurang, maka ini mempunyai implikasi terhadap evolusi, identifikasi individual, hak tidak mengetahui masa depan dirinya sendiri, dan keleluasaan pribadi. Klonasi dapat mengakibatkan beban mental pada si klonus, dengan alasan karena dirinya dituntut untuk berperangai dan bertingkah laku persis sama, sehingga hidupnya tidak mempunyai kejutan-kejutan yang merangsang atau tantangan sekonyong-konyong yang menyegarkan. Di sinilah otonomi manusia menjadi semakin terlihat memudar. Dalam kerangka permasalahan inilah klonasi manusia dianggap tidak manusiawi. Mencoba membatasi pengetahuan manusia berarti merendahkan kealamian manusia, tetapi melalui klonasi justru akan hilang kemanusiaannya. Manusia dengan proses alamiahnya dalam mendapatkan keturunan, telah direbut dengan teknologi yang keras. Sebagian saja barangkali yang urgen dengan klonasi ini terutama bagi yang mempunyai keturunan terbatas, karena takut kehilangan. Itupun tentu dengan pertimbangan yang tidak sederhana.

BABIII
KESIMPULAN

1. Rekayasa genetika dan terapi gen merupakan hasil kemajuan iptek yang dapat memberikan harapan baru bagi para penderita penyakit yang di masa lampau mustahil untuk disembuhkan, misalnya penyakit keturunan.
2. Rekayasa genetika telah banyak dilakukan dan berhasil terutama di bidang pertanian, sedangkan di bidang kesehatan telah berhasil diproduksi insulin dengan rekayasa genetika pada E. coli.
3. Meskipun terapi gen belum diijinkan diterapkan pada manusia dan masih dalam skala penelitian, namun di masa mendatang terapi gen merupakan harapan besar dalam dunia pengobatan
4. Klonasi sebagai wujud nyata pengembangan Iptek telah berhasil dilakukan terhadap hewan dan tumbuhan, sehingga keberhasilan ilmiah ini dapat memperkaya referensi manusia. Tetapi klonasi pada manusia dianggap tidak menjunjung tinggi kemanusiaan manusia dan merebut hak Tuhan dalam penciptaan makhluk. Manusia adalah makhluk yang mempunyai derajat paling tinggi di dunia ini, yang harus selalu dijunjung tinggi. Klonasi yang akan dilakukan terhadap manusia akan membawa dampak dehumanisasi, karena menghilangkan kemanusiaan manusia. Perkawinan bagi manusia adalah sakral dan tidak dapat digantikan dengan apapun dalam mendapatkan keturunan.





DAFTAR PUSTAKA


Holmes, B. 2003. Gene therapy may switch off' Huntington's. NewScientist.com 10.35 13 March 2003.
Moelyoprawiro, S, 2005. Peran Biologi dalam Kesehatan. Disampaikan dalam Seminar Nasional dan Konggres Biologi XIII. Yogyakarta, UGM.
Moeslichan,    2005.    Terapi    Gen    Bagi    Penderita    Hemofili. Diakses : 27 November 2005. http://www. tempo, co. id/kliniknet/artikel/18042001
Witarto, A.B., 2005. Diabetes, Inspirator Kemajuan Iptek. Pusat Penelitian Bioteknologi - LIPI. Diakses 17 Mei 2006. http://www.beritaiptek.com/zberita-beritaiptek-2005-01-20-Diabetes, Inspirator -Kemajuan-Iptek.shtml
Moelyoprawiro, S, 2005. Peran Biologi dalam Kesehatan. Disampaikan dalam Seminar Nasional dan Konggres Biologi XIII. Yogyakarta, UGM.
Hadiyarso, S., 1997, Perkembangan Ilmu Pengetahuan, dalam Diskusi mingguan mata kuliah Filsafat Ilmu smt. II Th. 1996/1997, Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta.

4 komentar:

  1. teman jangan lupa yah masukin link gunadarmanya k dalam blog kamu. Sebagai salah satu mahasiswa gunadarma ayo donk masukin link gunadarmanya, misalkan:
    www.gunadarma.ac.id
    www.studentsite.gunadarma.ac.id
    www.baak.gunadarma.ac.id
    www.ugpedia.gunadarma.ac.id
    :)

    BalasHapus
  2. Hei friend, karena kita ini mahasiswa gundar, tolong ya blognya di kasih link UG, seperti www.gunadarma.ac.id, Studentsite studentsite.gunadarma.ac.id dan lain lain karna link link tersebut mempengaruhi kriteria penilaian mata kuliah soft skill



    Selain itu, Yuk ikut lomba 10 kategori lomba khusus bagi mahasiswa Universitas Gunadarma. Edisi Desember 2012 ini diperuntukan bagi mahasiswa S1 dan D3. Tersedia 100 pemenang, atau 10 pemenang untuk setiap kategori. link http://studentsite.gunadarma.ac.id/news/news.php?stateid=shownews&idn=755



    Oh iya, kalian nggak mau ketinggalan kan untuk update terhadap berita studentsite dan BAAK, maka dari itu, yuk pasang RSS di Studentsite kalian...untuk info lebih lanjut bagaimana cara memasang RSS, silahkan kunjungi link inihttp://hanum.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/folder/0.5

    BalasHapus
  3. Blognya bagus, informasi sangat jelas dan cukup konseptual. Intinya, rekayasa genetika itu sangat berguna di bidang kesehatan. Ayo, maju dokter Indonesia

    BalasHapus